SAJAK
BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
OLEH :
W.S.
RENDRA
Aku
tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai
tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah
merajalela tanpa alamat.
Ketakutan
muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran
kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O,
jaman edan !
O,
malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak
sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab
undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian
hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O,
tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O,
sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari
sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah
selalu mengingatkan
bahwa
hukum harus lebih tinggi
dari
keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O,
kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O,
rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah
mencari ratu adil !
Ratu
adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa
yang harus kita tegakkan bersama
adalah
Hukum Adil.
Hukum
Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau
anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi
saksi yang akan berkata :
Apabila
pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila
cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila
aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka
rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu
menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai,
penguasa dunia yang fana !
Wahai,
jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah
masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah
masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila
saran akal sehat kamu remehkan
berarti
pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang
akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah
kamu bukakan !
Cadar
kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata
mengalir dari sajakku ini.
( 17 MEI 1998 )
DOA SEORANG
SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang dikota
terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
WajahMu membayang di
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak
menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila
malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam
dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa
yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
TAHANAN
Oleh :
W.S. Rendra
Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan
tak pernah didengarnya ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
enam pucuk senapan
meletus bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca blog ini, harap meninggalkan komentar, tentu yang bersifat membangun.