Bulan Terkapar di Trotoar
Cerpen Ahmadun
Yosi Herfanda
Bulan terkapar
di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada wajah serta lambung
kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk bangkit. Mula-mula ia
mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu, memiringkan tubuhnya dan
mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua telapak tangannya ke
trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah. "Ya Allah, apa
yang telah terjadi denganku," gumamnya.
Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana. "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.
Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana. "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.
Bulan tidak tahu
berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah larut malam.
Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda. Suasana jalan di
depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih hidup ketika
merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada keajaiban, kekuatan
gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah mati dengan tubuh
remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan mahasiswa.
Tapi, Bulan
merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu masih mengintai
dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut nyawanya. Sebab, dalam
dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di trotoar, tanpa ada yang
menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak akan tersadar lagi, karena
langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta kuda, untuk dihadapkan ke
Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi.
Bulan meraba
lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya, bahkan terus menetes
ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru nyasar," pikirnya.
"Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.
Bulan mencoba
untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi. Sudah tidak ada
sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya sendiri. Maka, yang
dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah pada Sang Nasib.
Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya. Dinaikkan ke atas
truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau diangkut dengan ambulan
PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka
untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?
"Di manakah
kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu ditolong?"
batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk tentara
telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku sengaja
dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai begini larut
belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada yang
melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah
kegelapan malam?"***
Ketika berangkat
berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan memang sengaja
memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda berduka bagi
bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin menyatakan duka
sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan sudah 30 tahun
rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada kawan yang
menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab, "belum!"
Dan, pada demo
mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan rasa
dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat kehitaman,
dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan spidol hitam.
"Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan berduka? Masih
adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.
Kenyataanya kini
Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada seorang pun yang
menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada yang melihat,
menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang pejalan kaki yang
sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari tempatnya terbaring.
Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu gerbang kompleks gedung
bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang, dan tidak ada satu pun
kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara. "Mustahil kalau tidak ada
seorang pun yang melihatku terbaring di sini," pikirnya. "Jangan-jangan
aku dianggap gelandangan yang sengaja tidur di sini, sehingga tidak perlu
mereka usik?"
Bulan khawatir
jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki kepedulian lagi
pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan diri sendiri, dan
ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah tentara-tentara yang siaga
di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah semua orang telah
menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di
pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan untuk dilemparkan
ke truk sampah?"
Bulan mencoba
mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong
dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka dialah
yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini keras,
Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung
pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata
ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.
Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.
Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.
Tapi, tidak
mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama 30 tahun
lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas air mata,
semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru beneran.
Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh
keadaan.
Bersama para
aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan --untuk ketiga
kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja, ikut
meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk. Ketika
dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun matanya
jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib sial.
Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia terinjak-injak
tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan mati,
dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum berjuta kunang-kunang
dan kegelapan menyergap kesadarannya.
Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju neraka?" pikirnya.
Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju neraka?" pikirnya.
Di puncak
kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung lorong.
Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk meraih
cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun menggeliat
sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan yang terus
mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa itu. Dengan
sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya.
Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap
malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.
***
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.
Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan," gumamnya.
***
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.
Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan," gumamnya.
Bulan ingat
shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti unjuk rasa,
karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan ayah dan ibunya
yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier sang ayah. Mereka
tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar sarjana hukum,
tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum siap
menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita itu,"
doa Bulan dalam hati.
Tapi gerimis
tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan. Ia ingin
sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki yang
lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar terlalu
jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti sangat
lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat adalah
datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada dini
hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan masih
menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi
segera dilarikan ke rumah sakit.
Namun, harapan
itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama menunggu. Lama sekali.
Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang, kepala Bulan tiba-tiba
terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-layang di udara. Sedetik
kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan menyeretnya ke dalam kegelapan
yang sangat dalam, kembali menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung.
Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan sampai ke mana.***
Jakarta,
1999/2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Setelah membaca blog ini, harap meninggalkan komentar, tentu yang bersifat membangun.