SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN KAMI
BLOG BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SERTA HAL UMUM
KITA JADIKAN BANGSA KITA MENJADI BANGSA YANG CERDAS
DAN BERAKHLAK MULIA MELALUI PENDIDIKAN YANG BERKEADILAN DAN BERMARTABAT
Salam
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selamat Datang dan Bergabung dengan Saya...! Semoga Blog ini Bisa Menambah Wawasan Kita. Kritik dan Saran yang Membangun sangat Kami Harapkan. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Bangkai-bangkai
tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah
merajalela tanpa alamat.
Ketakutan
muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran
kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O,
jaman edan !
O,
malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak
sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab
undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian
hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O,
tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O,
sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari
sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah
selalu mengingatkan
bahwa
hukum harus lebih tinggi
dari
keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O,
kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O,
rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah
mencari ratu adil !
Ratu
adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa
yang harus kita tegakkan bersama
adalah
Hukum Adil.
Hukum
Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau
anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi
saksi yang akan berkata :
Apabila
pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila
cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila
aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka
rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu
menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai,
penguasa dunia yang fana !
Wahai,
jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah
masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah
masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila
saran akal sehat kamu remehkan
berarti
pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang
akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah
kamu bukakan !
Cadar
kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata
mengalir dari sajakku ini.
( 17 MEI 1998 )
DOA SEORANG
SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra
Tuhanku, WajahMu
membayang di kota
terbakar dan firmanMu
terguris di atas ribuan kuburan yang
dangkal
Anak
menangis kehilangan bapa Tanah sepi
kehilangan lelakinya Bukannya benih
yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan
wajah mati yang sia-sia
Apabila
malam turun nanti sempurnalah
sudah warna dosa dan mesiu
kembali lagi bicara Waktu itu,
Tuhanku, perkenankan aku
membunuh perkenankan aku
menusukkan sangkurku
Malam
dan wajahku adalah satu
warna Dosa dan nafasku adalah satu
udara. Tak ada lagi
pilihan kecuali
menyadari -biarpun bersama
penyesalan-
Apa
yang bisa diucapkan oleh bibirku
yang terjajah ? Sementara
kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi
yang mengkhianatiMu Tuhanku Erat-erat
kugenggam senapanku Perkenankan aku
membunuh Perkenankan aku
menusukkan sangkurku
Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25 18 Juni 1960
TAHANAN
Oleh :
W.S. Rendra
Atas ranjang batu tubuhnya
panjang bukit
barisan tanpa bulan kabur
dan liat dengan
mata sepikan terali
Di lorong-lorong jantung
matanya para
pemuda bertangan merah serdadu-serdadu
Belanda rebah
Di mulutnya menetes lewat
mimpi darah
di cawan tembikar dijelmakan
satu senyum barat
di perut gunung (Para pemuda bertangan merah adik
lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi di
luar dirinya Anak
lonceng menggeliat
enam kali di
perut ibunya Mendadak dipejamkan
matanya
Sipir memutar kunci selnya dan
berkata -He,
pemberontak hari
yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo ia
meludah tapi
tak dikatakannya -Semalam
kucicip sudah betapa
lezatnya madu darah.
Dan
tak pernah didengarnya enam
pucuk senapan meletus
bersama
Berdiri aku di senja
senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang
menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup
ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
dimabuk wama berarak-arak.
Dalam rupa maha
sempuma
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
DOA
Dengan apakah
kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah
menghalaukan panas payah
terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir,
membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar
bersinar mataku sendu, biar berbinar
gelakku rayu!
HANYA
SATU
Timbul niat dalam kalbumu.
Terbang hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil
lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Terika riuh redam
terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik Jung
bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana
di jemala gembala
Juriat julita bapaku iberahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda
Kini kami bertikai
pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
Aduh kekasihku
padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serpa musa di puncak tursina.
PADAMU JUA
Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil
kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila
sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.