Salam

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Selamat Datang dan Bergabung dengan Saya...! Semoga Blog ini Bisa Menambah Wawasan Kita. Kritik dan Saran yang Membangun sangat Kami Harapkan.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 13 November 2009

PUISI : Taufik Ismail 2

takut
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut '66, takut '98 - 1998

KETIKA SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2040,
KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU

Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.

1998


MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

1998


KETIKA BURUNG MERPATI SORE MELAYANG

Langit akhlak telah roboh di atas negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan

Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri

Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang

1998


SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN
Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami
Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas
ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku
memang keserakahan.
1998


YANG SELALU TERAPUNG
DI ATAS GELOMBANG

Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Kini simaklah sebuah kisah,

Seorang pegawai tinggi,
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah,
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam,
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah.
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah.
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester ganjil,
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura.
Setiap semester genap,
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,
Anak-anaknya pegang dua pabrik,
tiga apotik dan empat biro jasa.
Saudara sepupu dan kemenakannya
punya lima toko onderdil,
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja,
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepleset macet dan hancur jadi bubur,
dia ketawa terbahak- bahak
karena depositonya dalam dolar Amerika semua.
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,
Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri,
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi.
Isinya masing-masing lima genggam beras,
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi,
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,

Gelombang mau datang, datanglah gelombang,
setiap air bah pasang dia senantiasa
terapung di atas banjir bandang.
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi,
lalu dia berkata begini,
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,"

Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah:
kekayaan misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa,
kekayaan mau diperiksa,
kekayaan tidak diperiksa,
kekayaan harus diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa.
Bandul jam tua Westminster,
tahun empat puluh satu diproduksi,
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,

Kemudian ide baru datang lagi,
isi formulir harta benda sendiri,
harus terus terang tapi,
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal sangat pribadi,
Selepas itu suasana hening sepi lagi,
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali,
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah.
Bagaimana membuktikan bersalah,
kalau kulit tak dapat dijamah.
Menyentuh tak bisa dari jauh,
memegang tak dapat dari dekat,

Karena ilmu kiat,
orde datang dan orde berangkat,
dia akan tetap saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania,
seraya menghirup teh nasgitel
dia duduk menerima telepon
dari isterinya yang sedang tur di Venezia,
sesudah menilai tiga proposal,
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,

Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way,
senandung lama Frank Sinatra
yang kemarin baru meninggal dunia,
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta
dari sangkar tergantung di atas sana
dan tak habis-habisnya
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia,
Go, go, go, ale ale ale...

1998

KITA ADALAH
PEMILIK SAH REPUBLIK INI

Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku ?"
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966

(Dikutip dari buku Tirani dan Benteng : Yayasan Ananda, Jakarta, 1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah membaca blog ini, harap meninggalkan komentar, tentu yang bersifat membangun.