Pergi ke dunia luas, anakku sayang
Pergi ke dunia bebas
Selama angin masih angin buritan
Dan matahari pagi menyinari daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut bebas, anakku sayang
Selama hari belum petang
Dan warna senja belum kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nakhoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku
Kembali pulang anakku sayang
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu lagi”
Asrul Sani
(1926-2004
KEPADA ADIK-ADIKKU
Adik-adikku yang manis
Janganlah bertanya kemana ibu pergi
Karena ibu tidak pernah pergi
Dari rumah kita
Adik-adikku yang manis
Ibu akan selalu bersama kita
Tidur dalam satu ranjang dalam satu pelukan
Dalam dongeng-dongeng yang menyenangkan
Tentang suarga
Adik-adikku yang manis
Janganlah kalian menangis
Tak adalah yang patut ditangisi selain dosa –dosa kita
Adapun ibu tak akan pernah pergi
dari hati kita
bersyukurlah kita sebab kita akan selalu mengenangnya
Adik-adikku yang manis
Potret yang terbaik, potret yang Tercantik
Adalah yang tersimpan di dalam hati kita.
“Terimakasih Tuhan!”
Ucapkan kalimat itu sayang\
Sebab pada hari ini Tuhan telah selesai membangun rumah terindah
Buat ibu
Dan kita
Amien
Arifin C. Noor
1964
SELAMAT ULANG TAHUN
NENEKKU
Karya ini dipersembahkan
untuk nenek tercinta
(Sasha)
Nenek,
Di saat ini usiamu telah bertambah
Engkau masih tetap semangat
Walau sakit menerpamu
(Fathiya)
Nenek,
Kapankah engkau akan pensiun
Mengapa kalau kita-kita lagi datang ke rumah nenek
Engkau sedang bekerja atau mengetik
Bukankah di rumah untuk istirahat?
(Fathiya dan Sasha)
Nenek
Di saat hari ulang tahunmu
Banyak saudara yang datang
Mengucapkan
“Selamat ulang tahun ya,
Semoga panjang umur dan sehat selalu.”
Kota Bunga, Cipanas
23 Februari 2004
`Sebuah Jaket Berlumuran Darah
(Taufik Ismail)
sebuah jaket berlumuran darah
kita semua menatapmu
telah terbagi duka yang agung
dalam kepediha bertahu-tahun
sebuah sungai membatasi kita
di bawah terik matahari Jakarta
antara kebebasan dan penindasan
berlapis senjata dan sangkur baja
akan mundurkah kita sekarang
seraya mengucapkan “Selamat tinggal perjuangan”
berikan setia kepada tirani
dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Merunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abng beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semua berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
(
Doa
Kepada pemeluk teguh
(Chairil Anwar)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
tuhanku
aku mengembara di negeri asing
tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
DOA DI JAKARTA
Tuhan Yang Maha Esa
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai
pikiran yang dipabrikkan
dan masyarakat yang diternakkan
Malam rebah dalam udara yang kotor
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolom yang basah
siap untuk diseret dalam gelombang edan
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan
terpenjara tanpa jendela.
Tuhan yang Maha Paham
alangkah tak masuk di akal
jarak selangkah
yang berarti empat puluh tahun gaji seorang buruh
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan WC
Hati manusia telahmenjadi baja
bagai DASH_BOARD yang acuh
panser yang angkuh
traktor yang dendam
Tuhan Yang Maha Rahman
Ketika air mata menjadi gombal
dan akata-kata menjadi Lumpur becek
aku menoleh ke utara dank e selatan
Di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk uang logam
Di manakah catatan belanja harian
Di manakah peradapan?
Tuhan Yang Maha Hakim
Harapan kosong, optimisme hampa
Hanya akal sehat dan daya hidup
Menjadi peganganku yang nyata.
JEMBATAN
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung
air mata bangsa. kata-kata telah lama terperang-
kap dalam basa dalam teduh pekewuh dalam
isyarat dan kilah tanpa makna
Maka aku pun pergi menatap pada wajah
orang berjuta
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilang malang
Wajah legam para pemulung yang memungut
remah - ramah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar
penonton etalase indah di berbagai plaza
Wajah yang diam-diam menjerit melengking
melolong dan mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita Satu
bahasa kita satu bendera kita satu.
Tapi wahai saudaraku satu bendera, kenapa
kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?
Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana
menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang
ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani
jurang di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-
moyak bendera hati, dipijak ketidakpedulian pada saudara
Gerimis tak mampu mengucap kibaran-
nya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
Padamu negeri
Air mata kami.
(Sutardji Calzoum Bahri)
makasih ya pak! sangat membantu kami mengerjakan tugas. lebih banyak puisinya dong!
BalasHapus